Google Adsense

Tuesday, September 15, 2015

Bila Diizinkan PNG, TNI Siap Geruduk OPM: 5 Menit Selesai Kok!

Pasukan TNI siap melakukan operasi pembebasan dua WNI yang disandera kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Jeffry. Namun hal ini harus mendapat izin dari Papua Nugini.

Kapuspen TNI Mayjen Endang Sodik mengatakan, semua pasukannya sudah dalam posisi siaga. Tim dari berbagai kesatuan sudah siap 24 jam.



"Kopassus ada, Paskhas ada, Denjaka, Denbravo, sampai Kopsusgab apapun ada, don't worry kita siap," tegas Endang di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (15/9/2015).

"Nanti setelah mereka memberikan kewenangan kepada kita, dan atas izin pemerintah PNG kita baru masuk," sambungnya.

Menurut Endang, kekuatan kelompok Jeffry hanya empat orang. Hanya saja, mereka menyandera dua WNI. Karena itu, keselamatan mereka perlu diperhatikan. Saat ini, cara-cara negosiasi masih dikedepankan karena tak ingin ada korban dari WNI.

"Itu kita serahkan pada PNG army dan Bupati Vanimo, bagaimana secara smooth bisa membebaskan dan selamat," imbuhnya.

Tenggat waktu negosiasi adalah siang nanti sekitar pukul 12.00 waktu PNG. Bila sudah melewati itu, TNI akan menunggu kabar dari PNG. Prinsipnya, militer PNG sudah diberi kepercayaan untuk proses pembebasan sandera. TNI tidak akan secara membabi buta masuk ke wilayah mereka.

"Kalau brak bruk saja 5 menit juga selesai kok, cuma kita tidak mau, karena kita menghormati kedaulatannya PNG dan kita tidak ingin ada korban baru lagi dari WNI kita, maka pembebasannya first negotiation dan diserahkan ke PNG army," paparnya.

Sandera dan kelompok bersenjata sudah diketahui lokasinya, yakni di dekat kawasan Keerom. Sejauh ini, belum ada keputusan soal permintaan barter tahanan. Yang pasti, soal tahanan diserahkan ke kepolisian.

"Kita belum tau siapa karena identitasnya juga belum jelas siapa, Polri yang tau. Karena itu masuk wilayah kriminal, Polri yang tahu. Dan sudah dikoordinasikan dengan Polri," urainya. 

Meski Jarak Pandang Terbatas, Hercules Milik TNI Tetap Mendarat di Pekanbaru

Meski tidak ada satu pun maskapai sipil yang berani mendaratkan pesawatnya di Bandara Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, rupanya hanya pesawat Hercules milik TNI yang mampu mendarat di Pekanbaru, meski jarak pandang di bawah 1 kilometer.

Jarak pandang di Bandara SSK II Pekanbaru, dari pagi hinga malam ini tak beranjak dari 700 sampai 900 meter. Untuk penerbangan sipil jarak pandang di bawah 1 KM cukup berisiko di lakukan pendaratan. Hingga malam ini, tidak tercatat maskapai sipil yang mendarat di Pekanbaru.

Pantauan detikcom, kedua pesawat Hercules itu mendarat sekitar pukul 12.00 WIB. Kedua pesawat tersebut mendarat dengan membawa ratusan prajurit TNI.

Kedua pesawat Hercules ini mendarat dengan mulus tanpa ada kendala apapun. Kedua Hercules itu memboyong prajurit untuk diperbantukan pemadaman api di Riau.  (Detik)

PASUKAN ELITE TNI SIAP BEBASKAN SANDERA WNI DI PAPUA NUGINI

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan pasukan siap sedia sedang bergerak untuk membebaskan dua warga negara Indonesia yang diculik kelompok bersenjata di Papua Nugini. Namun demikian, TNI telah berkoordinasi dengan militer Papua Nugini untuk pembebasan dua WNI.

"TNI 24 jam siap. Diperintah sekarang kami siap," kata Gatot di Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta, Selasa, 15 September 2015.
Penegasan serupa juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Endang Sodik.

Endang menekankan, prajurit TNI masih menunggu perintah pimpinan untuk bergerak membebaskan sandera oleh kelompok bersenjata di Papua Nugini. TNI memiliki unsur pasukan khusus yang lengkap untuk menjalankan operasi itu.
"Kopassus ada, Paskhas ada, Denjaka, Denbravo, sampai Kopsusgab apapun ada. Dont worry. Kami siap," Endang menegaskan.

Meski begitu, kata dia, kelompok bersenjata itu hanya berjumlah empat orang, sehingga pengerahan pasukan khusus dianggap belum perlu. Apalagi, Panglima TNI sudah memberikan arahan agar penanganan sandera diserahkan kepada otoritas Papua Nugini, untuk melakukan negosiasi dengan kelompok bersenjata.

Panglima juga tak ingin selama proses tersebut berlangsung, dua WNI yang disandera menjadi korban.

"Itu kan yang khawatirnya. Itu kami serahkan pada PNG Army dan Bupati Vanimo, bagaimana secara smooth bisa membebaskan dan selamat. Kita percayakan pada PNG army untuk pembebasannya," tuturnya.

Dua warga Negara Indonesia dikabarkan disandera oleh kelompok Orang Tak Dikenal (OTK), setelah sebelumnya dinyatakan hilang pasca penembakan terhadap warga Rabu, 9 September lalu di Kampung Skopro Distrik Arsi Timur Kabupaten Keerom.
Kedua WNI yang ditawan itu bernama Badar, 30 tahun, dan Sudirman, 28 tahun. Keduanya diduga dibawa OTK menuju Skowtiau Papua Nugini PNG.

BENARKAH F-35 BUKAN TANDINGAN SUKHOI SU-27?

National Security Network (NSN) yang berbasis di AS merilis laporan yang mengonfirmasi bahwa pesawat tempur siluman F-35 bukan tandingan pesawat Rusia seri Su-27, atau bahkan seri yang lebih lama, MiG-29.

Pesawat siluman Amerika F-35 Lightning II mungkin hanya akan menjadi sasaran empuk pesawat Sukhoi Rusia, demikian disampaikan laporan yang diliris Agustus lalu oleh National Security Network (NSN) yang berbasis di AS.

Dalam laporan ‘Thunder without Lightning: The High Costs and Limited Benefits of the F-35 Program’ (Guntur Tanpa Petir: Biaya Mahal dan dan Keuntungan Terbatas Program F-35), analis kebijakan Bill French dan peneliti Daniel Edgren menyebutkan F-35 sepertinya akan dengan mudah ‘dikalahkan’ dan ‘ditaklukan’ oleh jet tempur Rusia seri Su-27 Flanker.

Laporan tersebut mendukung pernyataan sejumlah pakar aviasi independen yang menyebutkan bahwa F-35 adalah pesawat yang benar-benar tak berguna, yang akan menjadi sasaran empuk pesawat musuh dalam pertempuran udara.

“Karakteristik kinerja F-35 sungguh buruk dibanding pesawat tempur generasi keempat dari negara lain seperti pesawat Rusia MiG-29 Fulcrum dan Su-27 Flanker misalnya,” terang laporan tersebut.
“Kedua pesawat itu merupakan musuh potensial F-35 dalam pertempuran udara. Dibanding Su-27 dan MiG-29, F-35 sangat inferior dalam beberapa hal, termasuk percepatan transonik. F-35 juga sangat lambat, hanya bisa mencapai kecepatan maksimum Mach 1,6 cukup jauh dibanding Su-27 (Mach 2,2) dan MiG-29 (Mach 2,3).

Simulasi pertempuran udara telah menunjukan hal tersebut. “Pada 2009, Angkatan Udara AS dan analis Lockheed Martin mengindikasikan bahwa kemampuan F-35 dalam mengalahkan musuh seperti MiG-29 yang sudah tua dan Su-27 ialah tiga banding satu.”

Hasil simulasi bahkan jauh lebih buruk. “Dalam satu simulasi yang dilakukan oleh RAND Corporation, F-35 memiliki rasio kekalahan 2,4 banding 1 jika berhadapan dengan pesawat SU-35s. Ini berarti, setiap Su-35 dapat mengalahkan lebih dari dua pesawat F-35.”

“Meski simulasi ini memperhitungkan sejumlah faktor lain, termasuk asumsi lokasi pertempuran, mereka tetap menggarisbawahi bahwa kemampuan udara-ke-udara F-35 perlu disikapi dengan skeptis.”

Next: Pertempuran Udara Jarak Jauh atau Dekat?
Laporan tersebut sesuai dengan filosofi pertempuran udara Rusia: pilot lebih suka melakukan pertempuran jarak dekat dibanding bergantung pada kemampuan jangkauan visual jarak jauh (beyond visual range/BVR) misil udara-ke-udara. “Untuk sukses dalam pertempuran udara, F-35 harus bisa mengalahkan musuh yang berada di jarak pandang (within-visual-range/WVR) seperti pertempuran udara jarak dekat,” kata laporan tersebut.

Namun, F-35 tak terlalu andal melawan pesawat musuh dalam pertempuran jarak dekat, karena pertempuran tersebut membutuhkan kelincahan dan manuver.
Uji coba telah menunjukan buruknya kemampuan manuver pesawat tempur ini dibanding pesawat tempur generasi keempat milik Amerika yang akan ia gantikan, seprti F-16, F-15, dan F-18. “Data yang tersedia mengindikasikan kemampuan manuver F-35 jauh lebih rendah dibanding pesawat tempur asing.

F-35 didesain untuk bertempur jarak jauh, sehingga kemampuan manuvernya seharusnya tak terlalu signifikan, namun sejarah menunjukan pertempuran udara selalu berlangsung di jarak dekat. Di luar preferensi perancang F-35 untuk pertempuran jarak jauh, menghindari pertempuran jarak dekat terbukti sulit.”

Militer India menyimpulkan hal tersebut setelah menjalankan latihan tempur udara dengan pilot AU Inggris di Waddington pada 2007.
Pilot Barat yang tak mengasah kemampuan tempur mereka akan mendapat kejutan tak menyenangkan saat berhadapan dengan pilot andal dari AU Rusia, India, atau Tiongkok.

Next: Misil yang Hilang
Menurut French dan Edgren, rencana Amerika untuk menggunakan F-35 sebagai platform tempur jarak jauh – yang dilengkapi misil BVR – bukan rencana yang baik, karena misil udara-ke-udara AS tak punya catatan baik dalam berperang. “Di masa Perang Dingin, persentase keberhasilan rudal jejalah memusnahkan musuh pada pertempuran jarak jauh ialah 6,6%. Persentase tertinggi diraih oleh Israel pada 1982 dalam Perang Lebanon, kesuksesan mereka mencapai 20%. Di era pasca-Perang Dingin, efektivitas misil BVR mengalami peningkatan. Sepanjang 2008, efektivitas rudal jelajah AS meningkat menjadi 46%, dengan menggunakan AIM-120AMRAAM (markas misil BVR AS). Namun, angka ini didapat dari sampel yang kecil, yakni hanya enam pertempuran”.

Laporan tersebut mengingatkan, AS tak bisa berharap angka tersebut akan meningkat saat menghadapi konflik melawan ‘kompetitor sebaya’ yang diperkirakan termasuk Rusia sendiri serta negara-negara yang memiliki pesawat tempur canggih dari Rusia. “Menurut analisis RAND, jejak rekam AIM-120 AS menunjukan mereka tak pernah berhasil menaklukan musuh yang memiliki rudal BVR yang sama; pilot yang jatuh tidak bisa melakukan perlawanan, dalam beberapa kasus mereka harus melarikan diri, tanpa manuver, atau dalam kondisi tak punya radar.”

Kondisi tersebut menunjukan AS tak bisa berharap mereka bisa lebih mudah menang melawan musuh yang tangguh dalam pertempuran jarak jauh. “Serangan elektronik jelas merupakan ancaman, menurunkan potensi pesawat AS menghancurkan musuh seperti pesawat tempur Rusia dan Tiongkok, yang saat ini memiliki teknik serangan elektronik balasan menggunakan gangguan memori frekuensi radio digital (digital radio frequency memory/DRFM). Serangan tersebut yang dikabarkan benar-benar menghambat efektivitas rudal jelajah.

“Kami, AS, belum memiliki metode yang cukup untuk melawan serangan elektronik selama bertahun-tahun,” demikian disampaikan pejabat senior di AU AS yang berpengalaman mengendalikan F-22 (pesawat tempur siluman AS yang paling mahal), pada The Daily Beast. “Jadi, meski kita memiliki kemampuan siluman, kita masih kesulitan mencari cara untuk melakukan serangan elektronik terhadap target seperti Rusia dan misil kami kesulitan mengalahkan mereka.”
Gangguan DRFM yang dimiliki pesawat Rusia dan Tiongkok dilaporkan ‘efektif mengingat sinyal radar yang masuk dan mengulangnya ke pengirim, menghambat kinerja radar secara serius. Lebih buruk lagi, gangguan tersebut bisa membutakan radar kecil yang dimiliki misil udara-ke-udara seperti Raytheon AIM-120 AMRAAM, yang merupakan senjata jarak jauh utama untuk semua pesawat tempur AS dan sebagian besar sekutu.’

Next: Akhir Permainan
Laporan itu menyimpulkan, “Meski rencana F-35 menggantikan sebagian besar pesawat tempur dan serang Amerika, platform ini terlalu mahal untuk melawan militer asing yang setara dengannya. Pesawat ini memiliki kekurangan dalam kemampuan manuver, besar muatan, kemampuan melakukan serangan mendadak, serta jangkauan untuk berkompetisi secara efektif dengan kompetitornya, padahal biaya operasional yang harus dikeluarkan sepanjang hidupnya mencapai 1,4 triliun dolar AS.
“Kemampuan bertahan pesawat sangat bergantung pada karakteristik siluman, namun hal itu berisiko karena dalam 50 tahun mendatang musuh akan meningkatkan sistem radar dan deteksi infra merah mereka, dan F-35 akan menjadi pesawat usang. Melihat faktor-faktor kegagalan yang sangat mendasar pada program F-35, dan mengingat harganya sangat mahal, pesawat ini merupakan sebuah investasi yang buruk. Realisasi program pembelian sekitar 2.500 unit pesawat – atau skala besar yang mendekati jumlah tersebut – harus dihindari.”

Penemuan lembaga tersebut meramalkan implikasi serius bagi pertahanan Amerika. “Dengan tetap mempertahankan program F35, Amerika menginvestasikan sumber dayanya untuk pesawat yang salah, di saat yang salah, untuk alasan yang salah,” terang laporan tersebut.
Jika AS tetap melanjutkan produksi skala penuh, yang dijadwalkan pada 2019, F-35 akan menjadi penemuan besar paling tak berguna dalam sejarah militer, membuat AS dan sekutu harus menghadapi berbagai risiko dan posisi berbahaya.

Sunday, September 13, 2015

Sukhoi Su-35 diklaim untuk imbangi negara tetangga

Sukhoi Su-35 diklaim untuk imbangi negara tetangga

Anggota Komisi I DPR, Salim Mengga, menyatakan, pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 buatan Rusia untuk mengimbangi kekuatan pertahanan udara nasional.
“Pembelian Sukhoi Su-35 untuk memperkuat pertahanan kita, untuk mengimbangai kekuatan angkatan udara negara-negara tetangga,” kata Mengga, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis.



Purnawirawan TNI AD itu menyebutkan, Malaysia sudah memesan pesawat tempur F-35 Lighting II buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat, atau Sukhoi Su-35. Begitu juga dengan Singapura dan Australia yang telah membeli F-35. Bahkan, Australia sudah datang sebanyak 58 unit F-35.

Yang masih misterius adalah proses pengadaan Sukhoi Su-35 itu oleh pemerintah, mulai dari pengumuman permintaan informasi kepada pabrikan, permintaan spesifikasi, proses tender, pengujian, hingga keputusan penentuan pemenang tender.

Saat Angkatan Udara India membeli pesawat tempur Dassault Rafale dari Prancis, semua proses itu diungkap kepada publik dalam batas tertentu.

Kompetisi dibuka untuk semua pabrikan dengan cara yang jujur dan terukur, sampai akhirnya 178 unit Dassault Rafale dibeli India, dengan hanya 28 unit dibuat di Prancis dan sisanya di India sebagai bagian utama dari proses transfer teknologi.

Saat Sukhoi Su-27/30MKI dibeli Indonesia, Rusia melalui Rosoboronexport juga sempat menyatakan keinginannya untuk menerapkan transfer teknologi kepada Indonesia.

Namun sampai kini publik tidak mendapat informasi pasti tentang hal ini dari Rusia sebagai penjual pesawat tempur itu ataupun dari militer Indonesia sebagai operator.

“Kita harus tingkatkan pertahanan kita untuk mengantisipasi konfik di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Laut China Selatan,” kata politisi Partai Demokrat itu.

Pembelian Sukhoi Su-35 asal Rusia itu dikarenakan tidak serumit saat membeli pesawat tempur dari Amerika Serikat.

“Kita cari arsenal yang resikonya rendah. Misalnya kita beli F-16, tapi dalam perjanjiannya kita tidak boleh digunakan untuk keamanan dalam negeri, terus untuk apa?," katanya.

"Jadi kita cari syaratnya yang ringan. Dengan Rusia tidak banyak resikonya. Kita pernah rasakan embargo, kita beli 25 unit, yang bisa dioperasikan hanya lima. Jangan kita ulangi lagi,” kata Mengga.

Ia menambahkan, dengan diperkuatnya angkatan udara dengan mempunyai pesawat tempur Sukhoi Su-35, tentunya akan membuat negara lain akan memperhitungkan Indonesia.

“Kita harus waspada, kalau kita lemah, bahaya bagi NKRI,” kata dia.

Mantan komandan Pusat Kavaleri TNI AD itu menyebutkan, pengurangan anggaran Kementerian Pertahanan akan berdampak besar bagi Indonsia.

“Ini sangat ironis anggaran pertahanan dikurangi. Saya kira penambahan anggaran harus diperjuangan untuk mencapai standar minimun agar bisa imbangi negara-negara tetangga. Kalau tidak, kita tidak akan berani dengan negara tetangga,” sebutnya.

Oleh karena, kekuatan militer mutlak diperlukan meskipun Indonesia kuat dalam diplomasi.

“Kalau kita lelat, dalam waktu 10 tahun ke depan kita tertinggal dibanding negara lain, meskipun kuat diplomasi. Kekuatan militer mutlak buat kita, tidak bisa diabaikan,” demikian Mengga.

Dukungan DPR RI

Komisi I DPR mendukung rencana TNI membeli pesawat tempur Sukhoi Su-35.

"TNI sudah mengajukan kebutuhan Sukhoi Su-35 ya dan sudah disampaikan ke Komisi I DPR. Komisi I prinsipnya mendukung kalau untuk mendukung perimbangan kekuatan, sekalian saja, jangan tanggung-tanggung," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfuz Siddik, di Jakarta, Kamis.

Namun politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mengakui bahwa pembelian 16 pesawat tempur langsung untuk satu skuadron tidak memungkinkan.

"Pembelian ini untuk mengganti satu skuadron. Mungkin karena harga mahal, tidak mungkin kita secara langsung satu skuadron, tapi bertahap," katanya.

Ia juga menyarankan pembelian pesawat dilakukan lengkap dengan persenjataan dan suku cadangnya.

"Kalau beli tahap awal misalnya enam unit, harus lengkap dengan persenjataan dan suku cadang, selama ini belum lengkap, dicicil," katanya.

Pendanaan untuk pembelian Sukhoi Su-35, menurut dia, masih akan dibahas.

"Itu sebenarnya pinjaman luar negeri. Kita sendiri belum bahas, apakah sudah ada green light dari Bappenas dan Kementerian Luar Negeri. TNI dan Kementerian Pertahanan sudah setuju, tergantung Bappenas karena itu kan pinjaman luar negeri," demikian Mahfuz Siddik

KSAL: kapal selam jangan hanya didiskusikan

KSAL: kapal selam jangan hanya didiskusikan

Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi mengharapkan kapal selam hendaknya jangan hanya didiskusikan, karena realisasi kapal selam itu penting untuk negara kepulauan.

"Kapal selam itu sudah didiskusikan sejak tahun 2005, tapi sampai sekarang hanya ada dua kapal selam yang kita miliki," katanya saat menjadi pembicara dalam sarasehan nasional di Makoarmatim, Ujung, Surabaya, Kamis.



Dalam sarasehan dalam rangka HUT Ke-56 Satuan Kapal Selam (Hiu Kencana) yang dihadiri Menristekdikti Prof M Nasir itu, Laksamana Ade Supandi mengatakan TNI AL setidaknya memerlukan 12 kapal selam untuk negara seluas Indonesia.

"Kita memulai pengadaan kapal selam itu, bukan hanya diskusi. Kita sudah pesan tiga kapal selam ke Korea yang semuanya akan selesai pada April 2017, tapi sebagian dibikin di Korea dan sebagian dibikin di PT PAL," katanya.

Menurut dia, Malaysia dan Singapura yang tidak memiliki wilayah laut seluas Indonesia saja memiliki kapal selam, maka Indonesia harus memiliki dalam jumlah lebih banyak daripada mereka, bahkan kapal selam "the next class".

"Apalagi, Indonesia mempunyai visi menjadi Poros Maritim Dunia, maka kehadiran TNI AL itu penting, bukan hanya hadir di pangkalan, tapi hadir di laut, baik di permukaan maupun di bawah permukaan," katanya.

Menanggapi pernyataan KSAL Laksamana Ade Supandi, Menristekdikti Prof M Nasir dalam paparannya menyatakan pihaknya memiliki delapan fokus riset, namun Presiden Joko Widodo meminta untuk mengutamakan tiga fokus riset yakni pangan, energi, dan maritim.

"Seperti yang disampaikan KSAL bahwa kapal selam masih sebatas diskusi, maka hal itu ditentukan dua hal yakni anggaran dan kolaborasi antar-kementerian. Untuk anggaran itu, kita akan sampaikan ke DPR untuk membantu," katanya.

Ia mencontohkan anggaran riset Indonesia yanga hanya 0,09 persen dari GDP, sedangkan Thailand mencapai 0,25 persen dari GDP, Malaysia 1 persen dari GDP, Singapura 2,8 persen dari GDP, dan Korea 3,4 persen dari GDP.

"Meski anggaran riset itu penting, kolaborasi antar-kementerian itu juga penting, karena riset yang tidak sinergis antar-kementerian membuat terjadi pemborosan anggaran riset dan tujuan tidak bisa fokus, sehingga hanya menjadi bahan diskusi di atas kertas," katanya.

Oleh karena itu, Kemenristekdikti akan menyatukan sejumlah lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) antar-kementerian melalui Dewan Riset Nasional dengan dua tujuan yakni menghemat anggaran dan melakukan riset yang terfokus untuk menghasilkan produk dari hasil riset itu.

"Untuk kapal selam, misalnya, litbang kemenristekdikti bersama litbang perguruan tinggi dan kemenhan bisa bersinergi untuk melakukan riset dan menentukan fokus untuk produk riset yang diinginkan. Kalau riset dilakukan sendiri-sendiri akan sulit fokus," katanya.

Sementara itu, Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur Laksama Muda TNI Darwanto mendukung pandangan Menristekdikti untuk mendorong riset kapal selam itu, karena kontur laut Indonesia itu sangat cocok untuk persembunyian kapal selam.

"Kadar garam pada laut kita sangat tinggi, biota laut kita juga sangat banyak, dan kedalaman laut kita juga berbeda-beda, sehingga kapal selam bisa bersembunyi dan tidak menutup kemungkinan ada kapal selam asing yang sudah keluar-masuk laut kita," katanya.

Oleh karena itu, Indonesia sudah saatnya memiliki armada kapal selam yang memadai, karena semua negara maju itu memiliki kapal selam, seperti Amerika, Australia, Tiongkok, dan sebagainya.

"Bisa jadi, kapal selam kita hanya didiskusikan terus, karena kapal selam itu memiliki efek penggetar yang tinggi secara politis, sehingga ada yang berusaha agar kita tidak pernah memiliki armada kapal selam yang memadai. Jadi, kita harus bersinergi untuk memiliki kapal selam," katanya.

Senada dengan itu, Direktur Pusat Teknologi Industri Hankam BPPT Dr Ir Samudro M.Eng menyatakan penguasaan teknologi itu memerlukan dorongan dan dukungan yang kuat dari Pemerintah, Kemhan dan TNI AL sebagai pengguna, LPNK (Lembaga Pemerintah Nonkementerian), Perguruan Tinggi dan industri dalam negeri.

DPR minta pemerintah ambil alih FIR dari Singapura

DPR minta pemerintah ambil alih FIR dari Singapura

Wakil Ketua Komisi I DPR, Tantowi Yahya meminta pemerintah Indonesia untuk segera mengambil alih Flight Information Region (FIR) di wilayah udara Kepulauan Natuna, Sumatera, yang selama 60 tahun dipegang Singapura.

"Ini bukan hanya masalah bisnis. Ini masalah kedaulatan negara," kata Yahya, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis.



Kelemahan pengawasan udara ini sering dimanfaatkan Singapura untuk melakukan latihan militer.

"Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Wibawa kita akan semakin melorot di mata negara sahabat, kedaulatan kita juga akan terancam, maka kita perlu tegas," katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, menyatakan, pengambilalihan FIR dari Singapura itu tergantung kemauan pemerintah.

"Sekarang ini, political will dari pemerintah. Mau apa tidak," kata Siddiq.

Pada sisi lain, cakupan (coverage) radar militer dan sipil Indonesia belum mampu "menutup" seluruh wilayah udara nasional. Pun ketersediaan SDM yang mumpuni soal ini juga masih jadi masalah bagi Indonesia, selain aspek perundang-undangan dan aturan hukum terkait.

TNI INGIN DATANGKAN 12 KAPAL SELAM KILO CLASS

TNI INGIN DATANGKAN 12 KAPAL SELAM KILO CLASS

Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia sebagai visi Poros Maritim Dunia, diperlukan keunggulan kekuatan pertahanan di laut dan udara. Salah satu langkah yang diambil TNI mengembangkan kekuataan laut adalah dengan rencana mendatangkan kapal selam kelas kilo.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengungkapkan, jika TNI AL memiliki kapal selam kelas kilo tentu akan menghadirkan detterence effects yang luar biasa. Tidak hanya itu, kapal selam kelas kilo itu merupakan salah satu impian dari TNI AL. `’Itu mimpi TNI AL. Semoga pemerintah dan DPR bisa mewujudkan mimpi itu. Efek detterence-nya pasti ada” kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Jumat (11/9).

Bahkan, dalam rencananya, TNI berniat mendatangkan 12 kapal selam kelas kilo. Hal ini lantaran melihat kondisi luasnya wilayah perairan Indonesia. Salah satu alasan utama dari penambahan dan keberadaan kapal selam kelas kilo di armada TNI AL adalah agar bisa menimbulkan detterence effect (efek gentar) dari Indonesia di antara negara-negara di kawasan.

`’Hitungan-hitungan idealnya 12 kapal selam dan yang diharapkan panglima TNI itu kelas kilo. Karena itu, memiliki kemampuan yang lebih dalam untuk mengover wilayah kita yang luas. Selain itu, memiliki faktor deteren yang cukup besar,” ujar Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Endang Sodik.
Kapal selam kelas kilo memang menjadi salah satu primadona dalam kekuatan pertahanan laut di dunia. Kapal selam ini dikenal memiliki teknologi yang cukup canggih, yaitu mampu beroperasi dengan tenang dan tidak memiliki suara yang gaduh. Bahkan, kapal selam kelas kilo disebut-sebut sebagai salah satu kapal selam yang menghasilkan suara terlemah di dunia.

Hal ini sangat efektif mengingat fungsinya sebagai antikapal permukaan dan antikapal selam. Kendati begitu, Endang menjelaskan, pengadaan dan pembelian 12 kapal selam kelas kilo itu akan bergantung sepenuhnya kepada kemampuan anggaran pemerintah.

Rencana pembelian kapal selam kelas kilo ini juga telah dimasukkan dalam salah satu evaluasi Rencana Strategis (Renstra) Minimum Essential Force (MEF) tahap dua pada 2015-2019.

Sementara, Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI M Zainudin mengungkapkan, kapal selam kelas kilo memiliki kemampuan dan perlengkapan senjata yang lebih baik dibanding dengan kelas Changbogo.

`’Kalau kelas kilo punya perlengkapan senjata yang bagus, punya kekuatan yang bagus, punya kemampuan yang lebih baik. Ini adalah kapal selam kelas siluman, menyelam tidak terdeteksi. Makanya, kalau kita punya (kapal selam kelas kilo), kita bakal disegani di kawasan karena efek detterence-nya itu,” kata Zainudin.

UEA PESAN KAPAL PERANG BUATAN INDONESIA.

UEA PESAN KAPAL PERANG BUATAN INDONESIA.

Uni Emirat Arab (UEA) mulai menegoisasikan ketertarikan negara itu untuk memesan produk kapal perang buatan PT PAL Indonesia. Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) M Firmansyah Arifin di Surabaya, Minggu, mengakui beberapa negara telah melirik produk kapal perang Indonesia dan kecanggihan yang ditawarkan, serta beberapa sudah mulai bernegosiasi untuk pemesanan.

"Kita sedang bernegoisasi dengan UEA untuk kapal jenis LPD, seperti yang dipesan Filipina, karena mereka mengakui tertarik dengan kecanggihan kapal itu dan kita sudah menguasai kecanggihan dari A sampai Z jenis kapal tersebut," ucapnya.

Arifin mengatakan, ketertarikan UEA juga diungkapkan negara itu ketika melihat langsung kapal sejenis saat digunakan dalam evakuasi ekor pesawat AirAsia yang mengalami kecelakaan, yakni KRI Banda Aceh.

Sebelumnya, negara yang telah memesan dan kini sudah memasuki tahap akhir atau 70 persen pengerjaan adalah Filipina, yang memesan dua kapal perang tipe "strategic sealift vessel" (SSV).
Menurut Firmansyah, dua kapal perang berukuran panjang 123 meter dan lebar 21,8 meter itu adalah alat utama sistem senjata (alutsista) pertama yang diekspor Indonesia ke negara lain.

Pengiriman kapal pertama akan dilaksanakan dengan kontrak 28 bulan dan akan diluncurkan pada Desember 2015, sementara kapal kedua sekitar 36 bulan.

Firmansyah menjelaskan, pengerjaan dua kapal perang Filipina dilakukan setelah perusahaan BUMN itu memenangkan tender internasional senilai 90 juta dolar AS melawan tujuh perusahaan termasuk dari Korea Selatan.

"Kita menang karena pengalaman. Pasalnya militer Filipina ingin yakin bahwa kapal yang dipesan itu sudah dipakai di negara kita," katanya. Ia mengatakan, sesuai dengan peraturan pemerintah tingkat kandungan komponen dalam negeri (TKDN) kapal perang yang diekspor ke Filipina telah memenuhi regulasi, yakni antata 30 hingga 35 persen.

"Ke depan, kita telah membuat strategi jangka panjang, yakni bagaimana seluruh komponen kapal perang canggih berasal dari tangan-tangan anak negeri," katanya.