Flight Information Region (FIR) atau kontrol wilayah udara di Kepulauan Riau dan sekitarnya masih dikuasai oleh Singapura.
Presiden Joko Widodo meminta agar jajarannya segera mempersiapkan
peralatan dan personel agar dapat mengambil alih kelola ruang udara yang
dimaksud.
Presiden
beberapa waktu lalu memanggil kementerian terkait untuk membahas
permasalahan ini. Pasalnya International Civil Aviation Organitation
(ICAO) hingga kini masih belum mengizinkan Indonesia mengelola ruang
udara di wilayah Kepri, Tanjungpinang, dan Natuna karena dianggap belum
memiliki kesiapan infrastruktur dan SDM yang mumpuni.
Jokowi pun
menargetkan 3-4 tahun untuk mengambil alih FIR dari Singapura. Lantas
apakah Indonesia mampu mewujudkannya? Mengingat sudah sejak 1946
pengelolaan FIR didelegasikan ICAO kepada Singapura dan Indonesia belum
juga mampu mengambil alihnya.
"Jangan begitu.
Kalau tanya sama saya, ya harus! Itu kalau saya," ungkap KSAU Marsekal
Agus Supriatna saat dimintai tanggapannya di Mabes TNI Cilangkap,
Jaktim, Rabu (30/9/2015).
Menurut Agus, pemerintah harus segera
bergerak cepat agar Indonesia dapat berdaulat di wilayahnya udara. Sebab
terkait hal ini, pesawat Indonesia harus tetap meminta izin dari
Singapura walau terbang di ruang udara sendiri.
"Ya betul, harus begitu," kata Agus singkat sambil mengancungkan jempolnya tanda mengamini.
Mengenai
hal tersebut, Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Marsda Hadiyan
Sumintaatmadja mengatakan untuk permasalahan FIR harus dilihat dari
konteks keselamatan penerbangan. Pasalnya dalam pendelegasian FIR oleh
Singapura, itu sudah ada UU yang mengaturnya.
"Memang FIR
singapura berada di wilayah NKRI dan itu amanah ICAO bahwa sementara ini
pengontrolan di Kepri dan Natuna didedikasikan ke Singapura. Itu tidak
selamanya," ujar Hadiyan saat berbincang.
"UU No.1 tahun 2009
paling lambat sudah dikontrol atau diambil alih Indonesia. Pengambilan
alih tergantung kesiapan Indonesia dan FIR urusan dengan kemenhub juga,"
sambungnya.
Tak hanya Kemenhub, dijelaskan Hadiyan, dalam
permasalahan FIR Kemenlu juga sangat berperan. Pasalnya wilayah udara
yang dikelola oleh Singapura merupakan jalur gemuk yang banyak dilintasi
pesawat-pesawat komersil lintas negara.
"Secara diplomatik itu
Kemenlu perlu juga turun tangan. Bisa saja negara lain yang biasa lewat
wilayah Kepri dan Natuna tidak nyaman kalau FIR diambil alih Indonesia,
makanya perlu ada diplomasi dari kemlu," tutur Hadiyan.
Untuk
dapat mengambil alir FIR, Indonesia disebut Hadiyan harus memiliki
instrumen yang sama dengan Singapura. Dari infrastruktur hingga SDM.
Termasuk radar-radar udara dan instrumen militer.
"Tapi memang
lebih baik FIR yang ada di wilayah kita dikontrol negara sendiri.
Seperti di Cengkareng atau Unjung Pandang," ucapnya.
Pengelolaan
ruang udara tak bisa dianggap enteng. Indonesia, kata Hadiyan, harus
tetap meminta izin kepada Singapura jika ingin terbang di wilayah yang
diatur dalam FIR tersebut.
"Memang harus izin ke Singapura tapi
ini dalam konteks keselamatan penerbangan ya karena memang amanah. Tapi
kalau ada pelanggaran kedaulatan ya tetap kita tindak," tukasnya.
"Dan kalau sudah peran, FIR ya kita lupakan. Kita yang kendalikan karena urusannya sudah pertahanan negara," pungkas Hadiyan. (Detik)
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Muradi menjelaskan, rencana
pengadaan kapal selam kelas kilo dapat menjadi salah satu jawaban dari
rencana penguatan jajaran kapal selam di TNI AL. Bahkan, Muradi
menyebut, idealnya dengan wilayah perairan yang sangat luas, Indonesia
membutuhkan setidaknya 60 hingga 100 kapal selam.
''Kapal
selam kelas kilo masih bisa beroperasi di sekitar perairan Indonesia.
Itu kan kapal selam kelas middle. Kalau di atas itu, mungkin sudah cukup
sulit,'' ujar Muradi kepada Republika, Senin (28/9).
Bahkan,
Muradi menilai, jika berbicara jumlah ideal serta angka normatif, jika
disesuaikan dengan luas wilayah perairan, dibutuhkan setidaknya 60
hingga 100 kapal selam. ''Kalau perlu, Indonesia membutuhkan 60 hingga
100 kapal selam. Atau, idealnya ya sekitar 60 kapal,'' kata Muradi.
Jumlah
armada yang besar ini pun seharusnya bisa didukung dengan peningkatan
jumlah pangkalan kapal selam, yaitu sekitar lima pangkalan. Lokasinya
pun tersebar di seluruh wilayah, seperti di Kupang, Sorong, Sunda Kecil,
Surabaya, dan Kalimantan. Pada masing-masing pangkalan itu bisa diisi
15 hingga 20 kapal selam.
Saat ini, TNI AL
memang tengah membangun pangkalan kapal selam di Palu, Sulawesi. Tidak
hanya itu, kapal-kapal selam itu juga bisa dioperasikan di wilayah
Indonesia Timur yang memang dikenal memiliki perairan laut dalam.
Terkait
adanya potensi embargo dari produsen kapal selam kelas kilo, Muradi
menilai, hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Selama ini, kapal selam
kelas kilo memang diproduksi oleh Rusia. Menurut Muradi, selama ini
Indonesia belum pernah diembargo oleh Rusia.
Selain itu,
kebijakan Rusia untuk selalu berseberangan dengan Amerika Serikat dan
sekutunya bisa dianggap keuntungan tersendiri. ''Berbeda jika Indonesia
membeli kapal selam dari Inggris atau sekutu Amerika Serikat, malah bisa
kena kemungkinan embargo,'' ujar Muradi.
Tidak hanya itu,
sebagai penjual, Rusia bisa menjajaki pembukaan pasar yang lebih luas di
Asia Tenggara. Selama ini, Rusia memang baru bekerja sama dengan
Vietnam dalam pengadaan armada tempurnya, termasuk pengadaan kapal selam
kelas kilo. ''Kalau nantinya Rusia menawarkan kerja sama, ya diambil
saja, mengapa tidak?'' tutur Muradi.
Pun jika melihat kecanggihan
teknologi, daya jelajah, dan manuver kapal selam buatan Rusia. Kapal
selam mereka dinilai lebih canggih dibanding buatan Korea Selatan.
Namun, Muradi mengakui, salah satu kendala dari kapal selam adalah biaya
pemeliharaan yang cukup tinggi. Selain itu, skema perawatan dengan
mengandalkan kanibalisme spare part antara alutsista yang dimiliki
sebaiknya dihindarkan, terutama dalam pemeliharaan dan perawatan kapal
selam.
''Hal ini mengingat operasinya yang berada di dalam laut
dan membawa awak serta personel. Jadi, pemeliharaannya tidak bisa
main-main,'' ujar Muradi. (Republika)
Jelang
Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI)
yang jatuh pada 5 Oktober 2015 mendatang, Panglima TNI, Jenderal
Gatot Nurmantyo bersama seluruh jajaran TNI diketahui tengah menggelar
gladi resik di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Sabtu, 3 Oktober
2015.
Tema yang diangkat dalam HUT TNI kali ini adalah 'Bersama
Rakyat TNI kuat, hebat, profesional, siap mewujudkan Indonesia yang
berdaulat, mandiri, dan berkepribadian'.
Selain
akan dihadiri oleh Panglima TNI, gladi resik nantinya juga akan
dihadiri oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jendral TNI Mulyono, Kepala
Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Ade Supandi, dan Kepala Staf
Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Agus Supriatna.
Dalam gladi
resik ini, seluruh pasukan TNI yang hadir mengikuti simulasi upacara.
Bahkan, pembawa acara dalam gladi resik juga menyebutkan bahwa Gubernur
Banten, Rano Karno mempersembahkan drama kolosal Jenderal Besar Sudirman
demi memeriahkan HUT TNI ke-70 itu. Dalam gladi resik juga ada peragaan
Alat Utama Sistim Persenjataan (Alutsista) TNI.
Dari pantauan
VIVA.co.id, pada pukul 11.30 WIB, peragaan alutsita mulai dari
memamerkan kendaraan-kendaraan yang digunakan anggota TNI seperti motor,
panser, tank, sampai adanya peragaan oleh pesawat jet dan kapal tempur.
Bahkan,
pesawat jet dan kapal tempur yang dipamerkan juga sempat mengeluarkan
tembakan ke arah laut lepas. Sontak, hal tersebut membuat para warga
yang datang menonton gladi resik itu dari pagi, berhamburan bergerak
menuju ke arah pesawat jet dan kapal yang mengeluarkan tembakan.
Sebanyak
4731 prajurit dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan
Angkatan Udara (AU) terlihat mengikuti gladi resik. Mereka menunjukkan
kerapian berbaris dan kekompakannya.
"Salut sama TNI. Mereka
memang disiplin, rapi, enak sekali dilihatnya," kata Bonny (32) salah
seorang warga yang berada di lokasi menonton bersama keluarganya.
"Anak-anak, pada senang katanya lihat ini. Kami sudah datang dari pukul 07.00 WIB tadi," dia menambahkan.
Sementara
itu, Kepala Bidang Penerangan Pasukan, Kolonel Laut Mugiono memaparkan,
usai gladi resik, akan ada demo pesawat jet, kapal yang menembakkan
peluru, serta anggota dari Marinir yang akan terjun ke laut.
"Prajurit
harus militan dalam segala hal karena hanya dengan kekuatan
bersama-sama akan menjadi kekuatan untuk itulah apabila dengan rakyat
maka TNI akan kuat. Hanya dengan rakyat TNI akan kuat," ujar Kepala
Pusat Penerangan TNI, Brigjen Tatang Sulaiman
Dari data yang
berhasil dikumpulkan, diketahui TNI telah menyiapkan beberapa alutsista
untuk demonstrasi. Di antaranya, 1 pesawat Fennex, 4 helikopter MI 35, 1
helli MI 17, 12 heli Bell 412, 43 kapal tempur kelas Sigma, 2 kapal
tempur kelas MARF, 4 kapal perang kelas Amy, 11 kapal perang kelas
Parchim, 4 kapal perang kelas SHS, serta 1 kapal selam.
Selain
itu, ada juga 12 pesawat tempur Tiger 50, 10 pesawat tempur jenis Hawk,
12 pesawat tempur F-16, serta 9 jet Sukhoi SU27/30 juga bakal menghibur
warga Cilegon. (VivaNews | liputan6 | TribunNews)
Kepala
Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna menginginkan
agar Natuna menjadi Pearl Harbour bagi Indonesia dalam menjaga
kedaulatan negara.
"Ya itu harus, Natuna harus diperkuat
karena itu (penguatan Natuna) juga rencana saya. Bila perlu kita jadikan
Pearl Harbour-nya Indonesia, untuk mengawasi wilayah kita yang begitu
luas," ujarnya di Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Menurut
Agus, Natuna perlu dibangun pangkalan yang betul-betul sesuai untuk
melaksanakan operasi Angkatan Udara (AU). Termasuk juga dermaga-dermaga
lautnya juga harus diperkuat.
"Penempatan
skuadron pesawat tempur tidak perlu di Natuna, sebab pesawat tempur
dalam waktu singkat sudah bisa berada di sana. (Fasilitas atau sarana)
itu yang dibutuhkan seperti, bunker-bunker, enggak bisa parkir biasa,
nggak boleh harus bunker," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri
Pertahanan (Menhan) Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu berencana
meningkatkan pertahanan laut dan udara di Kepulauan Natuna, menyusul
meningkatnya tensi di Laut China Selatan (LCS).
"Ya nanti bulan
depan Natuna kita akan lengkapi, landasan kita perpanjang, ada pelabuhan
besar paling tidak bisa menampung empat kapal kemudian pesawat-pesawat
besar," ujarnya. (Sindo)