Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Ahmad Redi mengatakan perpanjangan kontrak tersebut bukanlah jual beli Tanah Air. Aspek kedaulatan negara yang terdapat pada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus dipenuhi. "Baik Freeport, Newmont, ataupun perusahaan lainnya harus tunduk pada aturan itu," ujar pengajar di Universitas Tarumanegara ini, Jumat (30/10).
Namun faktanya, hingga kini aspek tersebut tidak dipenuhi. Pemerintah, Redi mengatakan, cenderung lemah dan tidak bisa memaksa. "Ketika mencoba keras sedikit, malah jadi soal. Freeport mengancam tidak akan investasi besar-besaran di Indonesia," ujarnya.
Dalam kontrak karya (KK) sudah jelas bahwa Freeport harus membantu perekonomian Indonesia. Namun hingga kini, ia melihat tidak ada itikad baik dari Freeport. Terbukti, sampai kini perusahaan berbasis di Amerika Serikat tersebut belum membangun smelter di Gresik dan Papua. "Komitmen itikad baik untuk memajukan Indonesia tidak ada, baik dari sisi penerimaan negara maupun tenaga kerja," ujarnya.
Redi mengatakan sejak kegiatan operasional mereka dilaksanakan di Indonesia, negara hanya mendapatkan satu persen royalti. "Jadi dari satu kilogram emas yang mereka ambil, kita cuma kebagian satu gram. Sama artinya dengan mereka dapat Rp 500 jutaan, kita hanya kebagian Rp 500 ribu," jelas Redi.
Freeport nampaknya sulit sekali menaikkan besaran royalti dari satu persen ke 3,75 persen sebagaimana diatur dalam PP Nomor 9 tahun 2010 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Padahal sebagai pemilik sumber daya alam, Indonesia seharusnya dapat memperoleh royalti. "Bahkan tidak hanya 3,75 persen tetapi puluhan persen," ujarnya. (Republika)
No comments:
Post a Comment